Meski dikenal sebagai kota seribu masjid, namun jangan dikira di Kota
Mataram tidak ditemukan tempat ibadah lain. Bahkan jumlah pura -- tempat
ibadah umah Hindu pun -- gampang ditemui di kota ini. Di kota ini juga
ada lambang toleransi antar dua agama ini.
KABUN - ICHWAN, Lombok
TIDAK hanya tradisi Desa Sukrare saja yang menarik perhatian rombongan
dari Solo saat berkunjung ke Pulau Lombok Jumat - Minggu pekan lalu,
tapi rombongan dari Solo juga dibuat berdecak kagum dengan toleransi
antarumat beragama di pulau yang terkenal dengan keindahan pantainya
ini. Salah satu lambang bersatunya umat Islam dan Hindu di Mataram itu,
sampai saat ini masih dapat dilihat, tepatnya di Kecamatan Cakranegara,
Kota Mataram. Yakni Masjid Al Ihsan dan Pura Meru yang dibangun dalam
satu komplek di tengah Kota Mataram. Sekilas melihat bentuk dua bangunan
ini cukup mengagumkan. Sama-sama megah dan serasi bak pasangan suami
isteri.
Di Kota Mataram ini, umat hindu di kota ini memang banyak berdiam di
Kecamatan Cakranegara, sedangkan umat islam mayoritas tinggal di
Kecamatan Mataram Kota dan Ampenan.
Bagaimana sejarah berdirinya dua tempat ibadah itu? Konon, menurut
cerita Pak Oki -- guide yang mendampingi rombongan kami selama di Pulau
Lombo -- Pura Meru berdiri sekitar 1720 Masehi. Pendirinya adalah Raja
Anak Agung Gede Ngurah Karangasem yang beragama hindu. Keberadaan pura
tersebut saat itu sangat penting sebagai tempat ibadah raja dan umat
hindu di wilayah tersebut.
Suatu saat, Raja Anak Agung jatuh cinta dengan gadis Lombok dari
kalangan bangsawan, Datu Dinde Nawangsari, penganut agama Islam. Sampai
akhirnya Raja meminang dan menjadikan Nawangsari sebagai permaisuri.
Meski memiliki pengaruh yang cukup besar, Raja tidak pernah memaksa
istrinya untuk mengikuti agamanya. Bahkan sebagai bukti toleransi kepada
istrinya Raja membangunkan sebuah masjid yang cukup megah yang kemudian
hari disebut Masjid Al Ihsan."Sampai saat ini keturunan raja masih
hidup rukun di sekitar pura dan masjid. Meski berbeda agama namun sikap
toleransi tetap terjaga hingga kini," ujar Pak Oki.
Pak Oki mengatakan, kerukunan umat Islam dan hindu di kota seribu masjid
ini tidak lepas dari sejarah masa lalu. Sebab apa yang sudah dirintis
Raja Anak Agung ternyata sampai saat ini masih tetap terjaga dengan
baik. Buktinya, sampai saat ini belum ada sejarah umat hindu dan islam
di pulau Lombok ada perseteruan.
Selain Masjid Al Ihsan dan Pura Meru sebagi lambang bersatunya umat
islam dan hindu, ada lagi istilah penganut Islam >wetu telu< di
Lombok. Istilah Islam Wetu Telu ini memang hanya bisa didapati di Lombok
saja. Penganutnya saat ini yang masih ada di Bayan, Lombok Barat. Di
daerah ini dikenal sebagai pusat sekaligus benteng terakhir keyakinan
dan adat wetu telu di pulau Lombok. Di kaki Gunung Rinjani sebelah utara
inilah bertebaran desa-desa yang didiami oleh para penganut sistem adat
dan kepercayaan wetu telu.
Istilah islam wetu telu adalah istilah yang dipakai karena penyebaran
ajaran Islam yang tidak sempurna. Salah satu ajaranya, islam wetu telu
ini hanya percaya tiga rukun islam saja, yaitu membaca dua kalimat
sahadat, salat lima waktu dan berpuasa. "Penganut Islam >wetu
telu< biasanya memang beda dengan islam wetu lima. Sebab kalau islam
wetu lima mereka benar-benar menjalankan semua rukun islam, sedangkan
islam wetu telu mereka punya cara sendiri," imbuh Pak Oki.
Munculnya Islam wetu telu ini merupakan sebuah adaptasi agama Islam yang
dicampuraduk dengan kepercayaan aninisme dan Hindu Bali. Salah satu
kepercayaan mereka adalah pemujaan kaum leluhur atau ancestor worship.
Tempat ibadah mereka dikenali sebagai masjid adat dan berbeda dengan
masjid yang lain. Sebab, hanya digunakan tiga kali setahun: sempena
Aidilfitri, Adidiladha dan Maulidur Rasul. Mereka juga tidak
bersembahyang di masjid. Mereka percaya bahawa sembahyang yang dilakukan
oleh ketua agama mereka yang dipanggil pemangku adat sudah memadai.
Amalan mereka yang lain termasuk mengambil kebahagian dalam upacara Nyiu
yang berlangsung seribu hari setelah meninggalnya seorang kaum
keluarga.
Dalam upacara ini mereka akan menyembahkan barang-barang keperluan
seperti pakaian, berus gigi, makanan dan tilam supaya rohnya akan lebih
bahagia di syurga. Walaupun amalan dan kepercayaan mereka bercanggah
dari ajaran Islam yang sebenar, mereka masih menganggap diri mereka
sebagai muslim. "Biasanya kalau ada acara besar mereka bersembanyang di
Pura Lingsar sambil menyembelih kambing dan dimasak dan dimakan
bersama," pungaks Pak Oki.
(ditambah dari berbagai sumber)
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar