Jumat, 30 November 2012

Masjid Al Ihsan dan Pura Meru Saksi Persatuan

Meski dikenal sebagai kota seribu masjid, namun jangan dikira di Kota Mataram tidak ditemukan tempat ibadah lain. Bahkan jumlah pura -- tempat ibadah umah Hindu pun -- gampang ditemui di kota ini. Di kota ini juga ada lambang toleransi antar dua agama ini.
KABUN - ICHWAN, Lombok


TIDAK hanya tradisi Desa Sukrare saja yang menarik perhatian rombongan dari Solo saat berkunjung ke Pulau Lombok Jumat - Minggu pekan lalu, tapi rombongan dari Solo juga dibuat berdecak kagum dengan toleransi antarumat beragama di pulau yang terkenal dengan keindahan pantainya ini. Salah satu lambang bersatunya umat Islam dan Hindu di Mataram itu, sampai saat ini masih dapat dilihat, tepatnya di Kecamatan Cakranegara, Kota Mataram. Yakni Masjid Al Ihsan dan Pura Meru yang dibangun dalam satu komplek di tengah Kota Mataram. Sekilas melihat bentuk dua bangunan ini cukup mengagumkan. Sama-sama megah dan serasi bak pasangan suami isteri.

Di Kota Mataram ini, umat hindu di kota ini memang banyak berdiam di Kecamatan Cakranegara, sedangkan umat islam mayoritas tinggal di Kecamatan Mataram Kota dan Ampenan.

Bagaimana sejarah berdirinya dua tempat ibadah itu? Konon, menurut cerita Pak Oki -- guide yang mendampingi rombongan kami selama di Pulau Lombo -- Pura Meru berdiri sekitar 1720 Masehi. Pendirinya adalah Raja Anak Agung Gede Ngurah Karangasem yang beragama hindu. Keberadaan pura tersebut saat itu sangat penting sebagai tempat ibadah raja dan umat hindu di wilayah tersebut.

Suatu saat, Raja Anak Agung jatuh cinta dengan gadis Lombok dari kalangan bangsawan, Datu Dinde Nawangsari, penganut agama Islam. Sampai akhirnya Raja meminang dan menjadikan Nawangsari sebagai permaisuri.

Meski memiliki pengaruh yang cukup besar, Raja tidak pernah memaksa istrinya untuk mengikuti agamanya. Bahkan sebagai bukti toleransi kepada istrinya Raja membangunkan sebuah masjid yang cukup megah yang kemudian hari disebut Masjid Al Ihsan."Sampai saat ini keturunan raja masih hidup rukun di sekitar pura dan masjid. Meski berbeda agama namun sikap toleransi tetap terjaga hingga kini," ujar Pak Oki.

Pak Oki mengatakan, kerukunan umat Islam dan hindu di kota seribu masjid ini tidak lepas dari sejarah masa lalu. Sebab apa yang sudah dirintis Raja Anak Agung ternyata sampai saat ini masih tetap terjaga dengan baik. Buktinya, sampai saat ini belum ada sejarah umat hindu dan islam di pulau Lombok ada perseteruan.

Selain Masjid Al Ihsan dan Pura Meru sebagi lambang bersatunya umat islam dan hindu, ada lagi istilah penganut Islam >wetu telu< di Lombok. Istilah Islam Wetu Telu ini memang hanya bisa didapati di Lombok saja. Penganutnya saat ini yang masih ada di Bayan, Lombok Barat. Di daerah ini dikenal sebagai pusat sekaligus benteng terakhir keyakinan dan adat wetu telu di pulau Lombok. Di kaki Gunung Rinjani sebelah utara inilah bertebaran desa-desa yang didiami oleh para penganut sistem adat dan kepercayaan wetu telu.

Istilah islam wetu telu adalah istilah yang dipakai karena penyebaran ajaran Islam yang tidak sempurna. Salah satu ajaranya, islam wetu telu ini hanya percaya tiga rukun islam saja, yaitu membaca dua kalimat sahadat, salat lima waktu dan berpuasa. "Penganut Islam >wetu telu< biasanya memang beda dengan islam wetu lima. Sebab kalau islam wetu lima mereka benar-benar menjalankan semua rukun islam, sedangkan islam wetu telu mereka punya cara sendiri," imbuh Pak Oki.

Munculnya Islam wetu telu ini merupakan sebuah adaptasi agama Islam yang dicampuraduk dengan kepercayaan aninisme dan Hindu Bali. Salah satu kepercayaan mereka adalah pemujaan kaum leluhur atau ancestor worship.

Tempat ibadah mereka dikenali sebagai masjid adat dan berbeda dengan masjid yang lain. Sebab, hanya digunakan tiga kali setahun: sempena Aidilfitri, Adidiladha dan Maulidur Rasul. Mereka juga tidak bersembahyang di masjid. Mereka percaya bahawa sembahyang yang dilakukan oleh ketua agama mereka yang dipanggil pemangku adat sudah memadai. Amalan mereka yang lain termasuk mengambil kebahagian dalam upacara Nyiu yang berlangsung seribu hari setelah meninggalnya seorang kaum keluarga.

Dalam upacara ini mereka akan menyembahkan barang-barang keperluan seperti pakaian, berus gigi, makanan dan tilam supaya rohnya akan lebih bahagia di syurga. Walaupun amalan dan kepercayaan mereka bercanggah dari ajaran Islam yang sebenar, mereka masih menganggap diri mereka sebagai muslim. "Biasanya kalau ada acara besar mereka bersembanyang di Pura Lingsar sambil menyembelih kambing dan dimasak dan dimakan bersama," pungaks Pak Oki.


(ditambah dari berbagai sumber)
Source :   Jawa Pos

Tidak ada komentar:

Posting Komentar